
POJOKSEMERU.COM | LUMAJANG – Tak banyak yang tahu, di balik rimbunnya kaki Gunung Lemongan, tersembunyi sebuah danau yang menyimpan narasi kuat antara alam, sejarah, dan semangat gotong royong. Ranu Lading, danau vulkanik tipe maar yang jarang ditemukan, kini bangkit sebagai potensi wisata berbasis komunitas.
Terletak di tengah kawasan perkebunan kopi peninggalan Belanda, Ranu Lading bukan hanya menawarkan lanskap alami yang tenang, tapi juga menyimpan jejak kolonial berupa loji kuno yang masih berdiri kokoh. Dikelola oleh kelompok tani kawasan hutan, danau ini mulai menunjukkan geliat sebagai ruang hidup, edukasi, sekaligus destinasi alternatif yang unik.
Menariknya, pengelolaan kawasan ini akan menjadi ruang sinergi antara warga dengan kalangan jurnalis. Komunitas Jurnalis Jawa Timur Cabang Lumajang (KJJT), yang diketuai Septa Aridona, sejak pertemuan hari ini Sabtu (4/10/2025) berjanji akan aktif mendampingi dan mendorong perencanaan potensi Ranu Lading sebagai destinasi wisata berbasis konservasi dan literasi sejarah maupun pemanfaatan dalam budidaya ikan keramba.
“Kami di KJJT tidak hanya meliput, tapi juga terlibat langsung dalam proses membangun kesadaran dan memberdayakan masyarakat lokal. Ranu Lading punya potensi besar sebagai ekowisata edukatif yang perlu didorong bersama,” ujar Septa Aridona, Ketua KJJT Lumajang.
Keberadaan Ranu Lading juga penting secara ilmiah. Sebagai salah satu dari 27 danau maar di sekitar Gunung Lemongan, Ranu Lading terbentuk dari letusan uap air bawah tanah akibat pergerakan magma. Fenomena geologis ini menjadikannya situs penting untuk studi vulkanologi dan konservasi ekosistem air.
Kini, Ranu Lading berdiri sebagai simbol: bagaimana warisan sejarah, potensi alam, dan semangat warga dapat membangun masa depan bersama dari Lumajang untuk Indonesia.
Sambutan hangat dari warga melalui salah seorang tokoh masyarakat dan juga aktivis penggerak masyarakat tani setempat, Jo Sugianto yang menjadi pioner pertanian serta pemanfaatan potensi ranu lading.
“Rumah ini bukan rumah saya, tapi rumah kita bersama. Ayo kita bangun bersama, dan sudah tidak usah mikir pamrih,” ujar Jo menegaskan bahwa tempat ini adalah ruang kolaboratif, antara jurnalis dan petani. (Eka/Arif)
Tim Redaksi